Oktober 11, 2007

PLURALISME BERWAJAH HUMANIS,

Sketsa Pemikiran Dr. Jhon, Chr. Ruhulessin
Penulis : Dr. Jhon, Chr. Ruhulessin
Editor : Rudy Rahabeat, M.Hum
Abidin Wakano
Penerbit : leSMMu & Galang Press
Cetakan Pertama : 2007
Tebal : 150x230mm; 235

Bagi mereka yang mencita-citakan terwujudnya perdamaian di negeri ini akan melihat wacana pluralisme sebagai wacana yang menguat dan tidak akan mengalami kadaluarsa, akan selalu menarik dan aktual. Oleh karena pluralisme merupakan realisme kemajemukan yang sulit dibendung dan dilawan. Pluralisme masih merupakan keniscayaan yang harus diterima sebagai fakta sejarah kehidupan dan dianggap sebagai anugerah Tuhan yang terindah bagi manusia. Sebagai anugerah Tuhan maka dapat dijadikan bagian dari upaya memperkecil semangat eklusivisme dan intoleransi diantara sesama manusia. Walaupun terkesan bagi banyak orang sudah jenuh dengan wacana pluralisme karena di media masa, tulisan, buku-buku, acara seminar, symposium, diskusi, dialog seputar hubungan antar umat beragama sudah semakin sering disaksikan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional berbagai teori dan perspektif tentang pluralisme telah dibedah dan dicakapkan.


Dalam kondisi kejenuhan itu, seorang tokoh pluralis Dr.John Chr. Ruhulessin (sekarang menjabat sebagai Ketua Sinode GPM) tidak pernah terlelap dengan kejenuhan itu, Ruhulessin tampil dengan pandangannya bahwa issu pluralisme tidak akan pernah berhenti dipercakapkan. Menurut Ruhulessin dalam kondisi negeri yang penuh prolematika dibutuhkan sandaran-sandaran yang objektif dan mendasar. Pluralisme tidak hanya didekati sebagai teori semata sebab tidak menjadi sesuatu yang baru. Namun pluralisme memiliki daya gugah yang lain jika ia memasuki dunia praksis yang riil, ia bukan merupakan sebuah bentuk kegelisahan dan keprihatinan intelektual semata tetapi melainkan sebuah panggilan dan misi yang disadari sebagai ‘proyek raksasa’ yang selain membutuhkan ‘nafas panjang’ diperlukan pula kearifan dan kecermatan dalam mendaratkan wacana pluralisme itu sendiri bagi terwujudnya kerukunaan dan perdamaian manusia dan kemanusiaan. Konsep pluralisme harus diaktualisasikan dan dinegosiasikan secara terus menerus dalam ruang-ruang publik. Ternyata Ruhulessin konsisten dengan kegelisahannya sehingga melalui rute akademis maupun pengalaman empirik yang panjang, memberinya segudang perspektif dan pengalaman.
Duet editor Rudy Rahabeat dan Abidin Wakano melakukan pencermatan, merangkum dan mengedit tulisan-tulisan Ruhulessin yang dipresentasikan pada berbagai seminara, pertemuan maupun lokakarya dihimpun menjadi sebuah buku yang mengusung judul “Pluralisme Berwajah Humanis” Sketsa pemikiran Dr. John ruhulessin. Buku ini sangat menarik jika dibaca secara cermat. Dari judul buku seakan hendak menyatakan bahwa pluralisme dan humanisme tak dapat dipisahkan. Pluralisme bahkan pada galibnya adalah kemanusiaan itu sendiri. Olehnya wacana pluralisme diberi bobot dan cita rasa humanis agar tetap relevan dan aktual untuk membangun kemanusiaan dan masyarakat yang beradab. Dalam perspektif semacam ini semua manusia sama dan setara (equal), memiliki kemanusiaan yang sama. Singkatnya, menurut Ruhulessin (sosok tokoh yang memiliki ketajaman membaca realitas bangsa khususnya Maluku yang plural), pluralisme berwajah humanis mencoba memberi jawaban sekaligus tetapi terhadap wajah peradaban saat ini yang dilanda gejala de-humanisasi di hampir segala bidang. Artinya ketika membicarakan pluralisme maka perlu dipadukan aspek humanitas, sebab jika tidak maka pluralisme akan menjadi slogan hampa dan bahkan bisa menjadi ancaman bagi manusia dan kemanusiaan. Di situlah letak keunikan dari buku karya Ruhulessin tersebut. Selain itu, buku ini menjadi sebuah sketsa, karena ibarat lukisan, kumpulan tulisan-tulisan ini merupakan sapuan-sapuan tipis yang kalau dihayati dapat memberi kenikmatan tersendiri bagi pembaca. Sketsa pemikiran Ruhulessin, oleh editor berusaha memadukan dalam koherensi yang agak sistematis dibahas agar mudah dimengerti oleh pembaca.
Editor mengemas isi buku ini dalam tiga bagian besar yakni : bagian pertama mengenai Sketsa pluralisme dimana Ruhulessin membahas pluralisme dan hubungan antar agama, Demokrasi dan pluralisme dalam perspektif gender, Spiritualitas kekristenan dalam pluralisme agama, dan Partisipasi politik masyarakat Kristen dalam konteks pluralisme. Sangat menarik ketika membaca pluralisme dalam perspektif gender, Ruhulessin mengemukakan bahwa tidak ada pilihan lain bagi agama-agama untuk menyikapi isu ini dengan cerdas. Sudah saatnya agama-agama mempelopori model-model penafsiran dan memberi ruang yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk diakui keberadaannya dan dijamin hak-haknya untuk mengatualisasikan dirinya dalam ruang publik guna menciptakan prestasi-prestasi bagi manusia dan peradaban. Bagian kedua; Ruhulessin mengemukakan bagaimana membangun agenda hidup bersama dengan isu-isu seperti korupsi, persaudaraan dan rasa aman (human security). Pada bagian ini penulis juga melihat peran lembaga keagamaan dan lembaga kemahasiswaan lintas agama memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun hidup bersama yang santun, egaliter dan demokratis. Bagian ketiga; Ruhulessin melihat pluralisme berdialektika dengan isu-isu nasional dan global seperti neoliberalisme dan Nation building dan teologi transformatif dan akhirnya penulis mengunci bukunya dengan sebuah tulisan reflektif dalam nuansa Maluku; Ale rasa beta rasa.
Buku yang sengaja diberi judul Pluralisme Berwajah Humanis ini, jika dikaji isinya lebih jauh menurut saya penulis melupakan aspek ekologi dan media sebagai bagian dari diskursus pluralisme berwajah humanis. Persoalan ekologis menurut saya harus dikumandangkan dalam pendekatan etika solidaritas agama dan manusia seutuhnya untuk bertolak dari kesadaran akan kesatuan manusia dengan alam karena alam dan manusia adalah sesama ciptaan. Manusia dalam kepelbagaian perlu diarahkan untuk menata hubungannya dengan sesama ciptaan untuk kepentingan bersama dan kemanusiaan. Begitu pula diskursus pluralisme berwajah humanis tidak terlepas dari peran media dan teknologi informasi yang turut memberikan kontribusi dalam mengakomodir seluruh kepentingan publik dan kemanusiaan. Konteks Maluku pra konflik 1999 sampai pasca konflik jika dicermati peranan media sangat penting dalam upaya-upaya rekonsiliasi tetapi juga dalam kaitan dengan persoalan kemanusiaan di negeri ini. Oleh karenanya perlu menjadi bagian dari pluralisme berwajah humanis itu sendiri.
Meskipun masih terdapat kekurangan dan kelemahan, tidak heran buku pluralisme berwajah humanis ini, baru pada terbitan pertama mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai pemikir dan tokoh agama maupun aktivis, sebut saja ; Prof Dr.Olaf Schumann guru besar pada sabah Theological Seminary, Malaysia; Tamrin Ely, sahabat dan ketua delegasi Muslim di pertemuan Malino 2002; Prof. Dr. John Titaley, mantan Rektor UKSW Salatiga; Drs. H. Idrus Toekan, Ketua Majelis Ulama Indonesia Maluku; Mgr PC Mandagi, Uskup Diosis Amboina dan Pdt Jacky Manuputty, Direktur Lembaga Antar Iman Maluku. Oleh karenanya buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh setiap orang yang mencintai terwujudnya perdamaian dan kemanusiaan, khususnya para agamawan (baik pendeta, ustad, pastor, dsb) tapi juga mengingat cakupan isinya yang luas maka baik pula dibaca oleh para aktivis, pekerja perdamaian, akademisi, mahasiswa dan masyarakat umumnya. Dengan membaca buku ini pembaca akan dapat mengenal lebih jauh isu-isu urgen yang di dalamnya ada keterlibatan penulis secara mendalam, buah pikiran, gagasan, usulan, dan sumbangan yang mendorong pembaca ke arah pembaruan menuju tata kehidupan bersama yang lebih baik. Merangsang berbagai unsur masyarakat untuk masuk dalam dialog sosial dan keagamaan yang mampu untuk semakin mewujudnyatakan cita-cita luhur yang merindukan suatu tatanan yang adil, sentosa dan sejahtera. Mendorong solidaritas antar komunitas agama semisal hubungan orang basudara di Maluku (Salam-Sarani) – akan turut memberi kontribusi dalam upaya pemulihan masyarakat serta pembangunan peradaban yang lebih ramah, santun dan humanis.
Tentu, penulis menyadari juga bahwa sketsa pemikiran ini masih perlu dicermati, dikritisi, direvisi, pertebal, dan diperindah lebih lanjut lagi, entah oleh sang penulis sendiri atau orang lain yang tergoda untuk membaca dan meneruskannya pada waktu yang akan datang.

0 komentar:

Design by Dzelque Blogger Templates Modification by Dheedy_as 2007-2008